GEPRINDO : Trauma Peristiwa 1965, Diduga Jaringan Komunis di Indonesia Khawatir Dengan Aksi 212 -->
Cari Berita

Advertisement

GEPRINDO : Trauma Peristiwa 1965, Diduga Jaringan Komunis di Indonesia Khawatir Dengan Aksi 212

Minggu, 27 November 2016

Bastian P Simanjuntak

JAKARTA, SHRI.com - Indonesia punya sejarah kelam terkait partai komunis pada peristiwa 1965 atau yang kita kenal sebagai peristiwa gerakan 30 S PKI. Paska penculikan 7 jendral, mayjen Suharto langsung mengambil tindakan menbersihkan Partai Komunis Indonesia dan afiliasi nya yang ada di Indonesia. 

Anggota PKI dan afiliasinya di tangkapi, ABRI bersama  ormas islam melakukan pembersihan besar-besaran terhadap jaringan PKI yang ada indonesia. 

Kebencian dan dendam masyarakat terhadap  komunis dan affiliasinya sangat beralasan, sebab sebelumnya kelompok-kelompok yang beraliran komunis gemar mengadu domba rakyat.

Komunis telah beberapa kali melakukan pemberontakan, seperti pemberontakan Madiun tahun 1948 dengan melakukan penculikan,  pembunuhan tokoh-tokoh yang dianggap musuh, upaya adu domba pun dilakukan, adu domba antara rakyat dengan rakyat dan antar kesatuan-kesatuan TNI. 

Pada tahun 1965 PKI melakukan pemberontakan dengan penculikan 7 Jenderal yang dipimpin oleh letkol Untung.  

Menjelang dan sesudah Pilpres 2014,  sempat beredar informasi di social media terkait dengan kebangkitan gerakan komunis di Indonesia,  ditandai dengan pertemuan-pertemuan  pertemuan-pertemuan bekas anggota dan keturunan PKI dengan beberapa politisi dari PDIP, dan beredarnya logo palu arit di masyarakat, adanya desakan agar negara meminta maaf kepada PKI, kemudian ada pertemuan antar partai di Indonesia dengan Partai Komunis Cina. 

Adapun parpol Indonesia yang telah bertemu dengan PKC diantaranya PDIP,  Nasdem dan terakhir Partai Golkar. Sehubungan dengan pertemuan antara parpol di Indonesia dengan Partai Komunis China maka timbul kecurigaan di benak masyarakat, jaringan Komunis benar-benar ada dan akan bangkit dibawah pemerintahan Jokowi. 

Masyarakat mencurigai pertemuan-pertemuan tersebut tentunya membahas hal-hal yang berkaitan dengan politik, ada  langkah-langkah strategis dan taktis yang dibahas antara parpol-parpol Indonesia dengan PKC. 

Kecurigaan masyarakat berlanjut setelah kebijakan-kebijakan pemerintah Jokowi  terkesan sangat berpihak kepada  negara China. 

Keberpihakan ditandai dengan  keleluasaan terhadap negara China dalam hal kerjasama bilateral menyangkut ekonomi dengan kontrak-kontrak kerjasama yang dianggap sangat menguntungkan negara Cina. Seperti misalnya terkait dengan pembangunan infrastruktur di Indonesia. 

Indonesia mendapatkan pinjaman infrastruktur dari China sebesar ratusan triliun dengan jaminan 3 Bank BUMN terbaik, seperti BNI, BRI dan Mandiri disamping itu Indonesia mendapatkan bunga yang cukup tinggi itu sebesar 2,5% per tahun, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan bunga yang diberikan oleh Jepang maupun Korea.

Dibalik perjanjian itu ada kesepakatan  proyek-proyek infrastruktur yang akan dijalankan oleh Cina di Indonesia dengan persyaratan kontraktor dari China dan affiliasinya,  pekerjanya dari China,  material dari Cina. 

Baru-baru ini ada pertemuan antara PWI dengan Persatuan Wartawan Tiongkok (All China Journalist Association/ACJA), media massa, maupun dengan kalangan pemerintah, khususnya Kementerian Luar Negeri China. Menurut Ketua Bidang Luar Negeri PWI Teguh Santosa yang menjadi pimpinan delegasi, dalam pertemuan-pertemuan itu dibicarakan beberapa persoalan terkait hubungan Republik Indonesia dan Republik Rakyat China (RRC), seperti hubungan dagang, proyek infrastruktur, tenaga kerja China, juga kasus perairan Kepulauan Natuna keamanan kawasan. 

Dalam pertemuan tersebut Rombongan PWI diterima Direktur ASEAN Kementerian Luar Negeri Republik Rakyat China (RRC) Shen Minjuan, dalam pertemuan di Kemenlu RRC di Beijing, Jumat sore (25/11). Shen Minjuan menyatakan, Tiongkok tidak akan ikut campur urusan politik dalam negeri Indonesia, Cina tidak akan melakukan pemaksaan ideologi komunis ke Indonesia.

Ada kekhawatiran yang luar biasa yang di rasakan oleh pemerintah maupun oleh kelompok-kelompok yang beraffiliasi dengan Partai Komunis China menjelang aksi 212, oleh sebab itu pemerintah berkali-kali mencoba melakukan langkah-langkah pencegahan terhadap aksi 212 dengan cara-cara diluar kebiasaan. 

Jokowi melakukan langkah-langkah diplomasi dengan prabowo dan ormas-ormas islam. Jokowi melakukan "gertak" dengan mengunjungi markas TNI dihadapan prajurit ia menekankan bahwa ia adalah Panglima tertinggi, Partai Golkar secara tiba-tiba mengusung Setya Novanto kembali menjadi Ketua DPR, Kapolri mengatakan ada kegiatan makar, mengeluarkan maklumat larangan demo dan menyebarkannya lewat Helicopter, melarang trayek bus yang mengangkut demonstran dari daerah,  dan yang menarik yaitu kedatangan James Riyadi dalam acaran rakernas PBNU, ada parade kebhinekaan dari kubu yang di tenggarai pro Jokowi-Ahok. 

Mungkin kekhawatiran mereka adalah kerentanan aksi demonstransi 212 yang awalnya menuntut ahok segera di penjara tiba-tiba bergeser menjadi aksi basmi Komunis di Indonesia.  Jakarta, 27 November 2016

Penulis: Bastian P Simanjuntak