Komersialisasi Agama berbalut Toleransi dan Kebhinekaan -->
Cari Berita

Advertisement

Komersialisasi Agama berbalut Toleransi dan Kebhinekaan

Kamis, 22 Desember 2016

Muhtadin Sabilly: Ketua Umum Pemuda Muslimin Indonesia

Reaksi pemerintah terhadp fatwa MUI agar tidak ada pemaksaan untuk mengenakan simbol-simbol agama merupakan guyonan pluralisme. Kita melihat pemerintah seperti salah kaprah terhadap makna toleransi, HAM.

Pemakaian simbol agama di perusahaan-perusahan, biasanya Mall,dept. Store, restoran dan lain-lain itu bukan aksi toleransi apalagi kebhinekaan, tetapi sebagai penistaan agama.

Atau katakanlah, komersialisasi agama. Momen apa pun yang bisa mendulang untung secara komersial, akan mereka manfaatkan dan paksakan pada karyawannya.

Sekarang pada momen menjelang natal, mereka akan paksa karyawan untuk pakai topi santa. Nanti saat menjelang lebaran mereka akan paksa pakai kerudung atau peci tanpa memperdulikan keyakinan agama yang dianut karyawannya.

Tak penting bagi perusahaan seperti itu soal agama. Ini soal meraup keuntungan dalam momentum keagamaan untuk mendulang uang. Bahkan Bukan cuma agama, nasionalisme pun akan mereka komersilkan.

Kita Pernah menyaksikan kampanye perusahaan asing yang mengeruk hasil SDA indonesia (secara brutal) tetapi kampanye brandingnya berbau nasionalisme?

Lebaran kemarin, pengelola tol di Bali memaksa karyawan perempuan penjaga tol utk memakai kerudung menjelang lebaran. Lantas salah satu ormas di Bali melakukan protes.

Pengelola tol pun membatalkan pemaksaan itu. Apa yg dilakukan pengelola tol jelas salah kaprah. Kenapa para penjaga tol yang mayoritas beragama hindu dipaksakan uatuk berkerudung?

Bukankah pemaksaan hanya akan berbuah 'kemunafikan' sejatinya intoleransi yang mendangkalkan keyakinan penganut agama?. Belum lagi ucapan selamat & perayaan hari besar agama bersama yang terkesan diwajibkan secara umum yang juga dikomersilkan melalui spanduk-produk dan reklame yang tujuannya untuk branding produk dan perusahaan.

Akhir kata, segala pemaksaan atribut dan simbol-simbol agama merupakan modus komersialisasi yang merusak nilai persatuan dan kebhinekaan dengan semangat promosi produk untuk meraup keuntungan singkat kata motivasi uang.

Orang yang dipaksa tentu akan merasa tak nyaman, karena itu bukan identitas dirinya. Maka pemerintah tak perlu salah kaprah menanggapi fatwa MUI tersebut dengan framing toleransi.

Seakan-akan toleransi adalah semua orang saling 'mencicipi' macam agama. Ini adalah logika rezim orde baru di tahun 70-80an yang memaksa PNS untuk ikut disemua perayaan agama.

Ini yang memaksa Buya Hamka lebih memilih mundur dari jabatan ketua MUI ketimbang mencabut fatwanya. Toleransi bukanlah membuat agama seperti gado-gado. Entah mengapa pemerintah malah mengikuti jejak rezim orba tersebut?

Jadi pemerintah tak perlu salah kaprah dengan menyeret2 fatwa MUI tadi ke arah framing intoleransi. Malah seharusnya mendukung dan memperkuat fatwa tersebu menjadi hukum positif. Kalau perlu pada saat lebaran pemerintah meminta kepada fatwa MUI, untuk mengeluarkan fatwa larangan pemaksaan pakai kerudung/peci menjelang lebaran bagi karyawan non  muslim.

Muhtadin Sabilly: Ketua Umum Pemuda Muslimin Indonesia