JAKARTA - Peringatan Hari Buruh Migran Internasional jatuh pada 18 Desember, hal ini sekaligus terbentuk lahirnya Konvensi PBB tentang hak-hak Seluruh Pekerja Migran dan Keluarganya, di tahun 1990.
Ternyata ratifikasi Konvensi Migran 90 tidak dijadikan landasan negara dalam membangun kebijakan perlindungan buruh migran. Sistem migrasi Indonesia di bawah UU No.39 Tahun 2004 telah menempatkan buruh migran perempuan sebagai komoditas, sehingga rentan terhadap kekerasan, eksploitasi dan pelanggaran hak.
Lemahnya political will negara dalam perlindungan buruh migran terlihat dengan lambatnya pembahasan revisi UU No. 39/2004. Proses pembahasan tidak hanya terkesan lamban, tetapi juga tidak secara substantif membahas mengenai perombakan sistem dan paradigma yang menyeluruh untuk menghasilkan perlindungan komprehensif bagi perempuan buruh migran dan keluarganya berdasarkan Konvensi Migran 90 dan CEDAW.
“Lebih dari 12 tahun, negara gagal dan membiarkan perempuan buruh migran mengalami kekerasan dan pelanggaran hak akibat lambannya Revisi Udang-undang Buruh Migran,” ucap Koordinator Program Solidaritas Perempuan Nisaa Yura, (18/12) di Jakarta. Seperti dilasir majalahkartini.co.id
Pada kesempatannya Solidaritas Perempuan telah merilis data yang ada bahwa perempuan buruh migran dan kekerasan kerap mengalami kekerasan dan ketidakadilan berlapis.
Sejak Februari 2012 hingga Februari 2015, SP menangani 106 Kasus kekerasan dan pelanggaran hak perempuan buruh migran, di mana mayoritas Perempuan Buruh Migran mengalami berbagai bentuk kekerasan dan pelanggaran hak, seperti eksploitasi jam kerja, pemotongan/tidak dibayar gaji, dipindah-pindah majikan, kekerasan fisik, psikis, dan seksual, kriminalisasi, hingga trafficking dan penghilangan nyawa. Nisaa menambahkan
“Berbagai kasus terus terjadi dan dialami Perempuan Buruh Migran, dan sayangnya pemerintah tidak mampu membangun mekanisme yang sistematis, termasuk posisi tawar di dalam perlindungan hak Perempuan Buruh Migran,” katanya
sumber: majalahkartini