Manuver Zulkifli Lubis Sang Kolonel -->
Cari Berita

Advertisement

Manuver Zulkifli Lubis Sang Kolonel

Senin, 19 Desember 2016

Penulis : Peter Kasenda
Kolonel Misterius di Balik Pergolakan TNI AD merupakan upaya hati-hati untuk menjelaskan latar belakang posisi Zulkifli Lubis dalam pergolakan internal militer Indonesia pada periode awal kemerdekaan.

Peter Kasenda menyuguhkan penjelasan tersebut dalam format kronik kehidupan Zulkifli Lubis pada era okupasi Jepang hingga Orde Baru. Pada taraf tertentu, buku ini dapat masuk kategori ‘biografi.

meski data yang disuguhkan penulis lebih banyak berasal dari sumber sekunder dan konteks makro sejarah sosial-politik Indonesia mendapat porsi yang banyak.

Sebagai salah seorang ‘elit militer’ saat itu -karena mendapat kesempatan pendidikan militer Jepang, Zulkifli Lubis merintis pembentukan badan intelijen negara pertama Indonesia yang bernama Badan Istimewa, bersama Sunarjo, Jiwahir, dan Djatikusumo. S

etelah Badan Istimewa, Zulkifli Lubis pun mendirikan Penyelidik Militer Chusus (PMC) pada akhir tahun 1945 dengan anggota para mantan perwira Yugekitai (pasukan gerilya khusus) yang bertugas mengumpulkan informasi intelijen serta melakukan operasi gerilya di belakang garis pertahanan musuh (hlm. 49).

Pada periode awal kemerdekaan, situasi politik maupun keamanan Indonesia berada dalam ketidakpastian. Selepas Jepang menyerah dalam Perang Pasifik karena pemboman kota Hiroshima dan Nagasaki oleh Amerika Serikat, status Indonesia -atau Hindia-Belanda- berada dalam persengkataan.

Pada satu sisi, kelompok pejuang kemerdekaan yang diwakili Soekarno-Hatta telah memproklamasikan kemerdekaan, sementara itu, tentara Sekutu berniat untuk mengembalikan wilayah Hindia-Belanda kepada Belanda.

Upaya penyelesaian sengketa tersebut dilakukan dengan dua jalan, yaitu melalui meja perundingan (diplomasi) dan konfrontasi (perlawanan bersenjata) melawan Sekutu/Belanda.

Pelaksanaan diplomasi dan konfrontasi tersebut, dalam perkembangannya, melahirkan berbagai dinamika internal yang memengaruhi perjalanan bangsa Indonesia.

Manuver

Satu cerita menarik tentang Zulkifli Lubis, yang telah dibahas oleh beberapa buku lain -dengan derajat kedalaman yang berbeda, adalah rivalitas antara Lubis dengan A.H. Nasution. Peter Kasenda pun tidak melewatkan satu episode kehidupan Zulkifli Lubis tersebut.

Rivalitas di antara keduanya bermula pada peristiwa ‘Operatie Kraai’ (Operasi Burung Gagak) tanggal 19 Desember 1948, atau dikenal dengan Agresi Militer Belanda II. 

Pada akhir tahun 1948, Zulkifli Lubis telah menerima informasi intelijen tentang kemungkinan serangan Belanda ke ibukota Republik Indonesia di Yogyakarta.

Zulkifli Lubis melaporkan temuan tersebut kepada Nasution selaku Panglima Komando Jawa, namun Lubis merasa Nasution telah mengabaikan informasi intelijen tersebut. Bahkan pada tanggal 17 Desember 1948, dua hari sebelum terjadinya agresi oleh Belanda, Nasution malah melakukan perjalanan ke Jawa Timur. Zulfkifli Lubis kecewa atas tindakan Nasution tersebut dan lantas mengadukannya kepada Panglima Sudirman. Zulkifli Lubis meminta Nasution dicopot dari posisi Panglima Komando Jawa (hlm. 55-56).

Konteks rivalitas Zulkifli Lubis dan Nasution tidak terlepas dari adanya dikotomi antara ‘pusat-daerah’. Nasution dipandang sebagai representasi ‘pusat’ yang ingin memangkas kewenangan serta otonomi daerah dalam menjaga keamanan.

Upaya Nasution untuk merestrukturasi angkatan bersenjata, salah satunya dengan cara penerapan sistem rotasi komandan daerah, pun memancing kritik keras.

Puncak peristiwa yang pada akhirnya memosisikan keduanya secara berhadapan adalah proklamasi Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) tahun 1958. Zulkifli Lubis berada di pihak PRRI.

Bagaimanapun, seperti ditulis Peter Kasenda, sikap politik Zulkifli Lubis pada dasarnya bukanlah semata menantang Nasution maupun Sukarno secara pribadi.

Sikap oposisi Zulkifli Lubis merupakan manuver politik untuk memenuhi kepentingan umum atas keadilan. Namun, sulit untuk dipungkiri metode yang digunakan justru kontra-produktif dengan tujuan yang ingin dicapai.

Sebagai seorang berpendidikan militer, Zulkifli Lubis tetap membuka pilihan bagi perjuangan bersenjata padahal lawan yang dihadapi pada dasarnya merupakan sesama anak bang sa yang memperjuangkan kemerdekaan dari tangan kolonialis.

Dalam ‘peristiwa Lubis,’ yaitu upaya kudeta oleh militer pada tahun 1956, Zulkifli Lubis sebagai salah seorang pendukung gerakan penggulingan Ali Sastroamidjojo, A.H. Nasution, dan Soekarno, menyetujui pengerahan pasukan untuk mengepung gedung pemerintahan.

Ketika gerakan kudeta gagal dan pemerintah mulai bergerak, Lubis mengaku dirinya terlibat dalam peristiwa tersebut dan menyatakan bahwa rakyat dapat menilai sendiri apakah tindakan kudeta itu benar atau salah (hlm. 119-120). Metode yang sama digunakan kembali pada peristiwa PRRI 1948, dengan hasil akhir yang tidak jauh berbeda.

Dalam upaya demokratisasi Indonesia pada awal kemerdekaan, tindakan mobilisasi dan persuasi Zulkifli Lubis tersebut patut dikritisi dengan serius: kekerasan bersenjata oleh tentara di alam demokrasi, terlebih negara baru merdeka, merupakan kesalahan fatal. Peter berupaya menjernihkan latar belakang Lubis memilih jalan tersebut, namun tidak terlalu meyakinkan.

Bagaimanapun, melalui pendekatan kronik dan biografi, buku karya Peter Kasenda ini berpotensi untuk membuka lembar diskusi baru tentang peran Zulkifli Lubis dalam dunia politik-militer Indonesia -dan tokoh militer kontroversial lainnya.

Selain itu, Peter pun telah memberikan sumbangan berharga dalam memperkaya narasi kontemporer tentang ‘pahlawan kemerdekaan,’ meski bukan berarti ia berhasil menyuguhkan sebuah narasi alternatif.

Atas dasar itu, buku ini penting untuk dibaca oleh kalangan pelajar, mahasiswa, akademisi, politisi, jurnalis, dan tentu saja masyarakat umum yang tertarik dengan sejarah militer Indonesia.

Judul buku : Komandan Intelijen Pertama Indonesia: Zulkifli Lubis. Kolonel Misterius Di Balik Pergolakan TNI AD
Penulis : Peter Kasenda
Penerbit : Penerbit Kompas
Tahun terbit : 2012
Resensi oleh: Muhamad Haripin