Moh. Mansyur |
SHRI.com - Gonjan ganjing terkait isu korupsi berjamaah KTP Elektronik (E-KTP) telah menyeret beberapa nama politisi kondang sekaligus elit pimpinan DPR, yang terbaru ketua DPR RI Setya Novanto ditetapkan sebagai tersangka oleh komisi pemberantasan korupsi (KPK), novanto dijadikan tersangka karna diduga kuat ikut menikmati aliran dana proyek dengan anggaran besar tersebut.
Bisa dikatakan publik tidak terlalu dikejutkan oleh penetapan status tersangka tersebut, mengingat dalam sidang korupsi e-ktp beberapa elit DPR sudah disebut-sebut menerima dana miliyaran rupiah termasuk setya novanto.
Memang sangat disayangkan untuk kesekian kalinya pimpinan DPR RI itu terlibat kasus yang cukup menyita perhatian khalayak ramai, sebut saja kasus papa minta saham yang menyebabkan setya novanto harus mundur sementara sebelum menjabat sebagai ketua DPR RI lagi.
Tentu saja kasus tersebut mencoreng nama setyna novanto sekaligus turut mencitrakan negatif instusi
perwakilan rakyat tersebut. Sekalipun untuk kasus korupsi e-KTP masih ada asas praduga tak bersalah yang harus dihormati secara hukum, namun secara logika tidak mungkin KPK menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka jika tidak memiliki bukti permulaan yang cukup.
Mungkin kita tidak habis pikir jika berbagai preseden buruk yang menimpa anggota DPR sebelumnya, khususnya dalam kasus korupsi, belum mampu menjadi pelajaran penting untuk melakukan introspeksi baik secara individual maupun secara institusional.
Faktanya, kasus korupsi malah menjadi semakin marak dengan nominal yang tidak main-main, sehingga
menjadikan lembaga DPR sebagai lembaga yang dianggap terkorup di Indonesia mengalahkan kepolisian yang sebelumnya dianggap menjadi lembaga terkorup (Survei Transparency International Indonesia 2017).
Maka, apa yang sudah terjadi terkait kasus korupsi e-ktp harus mendapat pertanggung jawaban moral, etika serta ketentuan hukum yang berlaku. Dapat dibayangkan bagaimana kecewanya publik jika kasus korupsi selalu menjadi isu yang tak pernah lepas dari lembaga terhormat tersebut.
Kembalikan marwah DPR
Secara yuridis ditetapkannya Setya Novanto sebagai tersangka tidak berimplikasi terhadap jabatan ketua DPR RI yang saat ini di embannya, karna belum divonis bersalah dengan berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).
Namun, secara etika dan moral tentu akan lebih baik jika Setya novanto secara kesatria mengundurkan diri, tentu saja sikap tersebut jauh lebih terhormat bagi dirinya sekalipun ia tidak mengakui bahwa dirinya bersalah.
Apalagi ditengah krisis kepercayaan publik terhadap lembaga DPR, akan semakin diperparah oleh status tersangka pimpinannya tersebut. Ini akan sangat membebani dan akan menjadikan publik semakin tidak simpati terhadap lembaga yang mewakili aspirasi rakyat Indonesia itu.
Jika setya Novanto tetap bersikukuh untuk tidak melepaskan jabatannya sebagai ketua DPR RI. Hal tersebut sangat rawan, karena bisa saja jabatan tersebut dijadikan alat untuk kepentingan pribadinya (conflict of interest), untuk melawan berbagai proses hukum dengan penyalahgunaan wewenang sebagai pimpinan lembaga negara.
Lagi pula jika pimpinannya terjerat kasus korupsi, maka secara otomatis akan mempengaruhi kinerja DPR, karena seseorang yang tersangkut kasus korupsi sudah pasti konsentrasinya akan terpecah dan akan lebih banyak mengurusi kasus hukum yang membelitnya.
Disitulah pentingnya seorang pejabat negara yang terkena kasus hukum apalgi kasus korupsi secara lapang dada harus mengundurkan diri. Para anggota dewan harus memperhatikan dan menjalin sinergitas antara rakyat dan wakil rakyat, karena sejatinya ucapan dan tindakan anggota dewan harus mampu merepresentasikan apa yang dikehendaki dan diinginkan oleh rakyat yang diwakilinya.
Ketika rakyat sudah bosan dan tidak percaya terhadap suatu lembaga negara yang mewakilinya tentu hal tersebut akan sangat berbahaya terhadap kelangsungan demokrasi di Indonesia, karena para legislator sudah tidak mampu menjadi penyambung lidah bagi rakyat, maka rakyat akan kehilangan harapan dan
cenderung menjadi anarkis dalam menyampaikan pendapat dan aspiranya.
Ditengah berbagi isu yang menimpa lembaga DPR, tentu optimisme tinggi harus tetap dibangun, masyarakat harus sadar selama ini yang menjadi masalah bukanlah lembaganya, melainkan oknum yang yang tidak bertanggung jawab di dalamnya, ketika oknum di dalamnya baik, maka secara kelembagaan DPR akan menjadi lembaga yang baik.
Maka, sudah selayaknya para anggota dewan berbenah secara internal untuk mengembalikan marwah serta citra positif yang kian hari kian memudar di tengah masyarakat.
Saatnya berbenah diri
Sebagai lembaga terhormat untuk menampung aspirasi rakyat indonesia, tidak layak rasanya kalau lembaga DPR hanya dijadikan ladang proyek untuk mengeruk kekayaan negara demi kepentingan pribadi.
Maka, rakyat secara umum menaruh harapan yang besar kepada para anggota dewan agar mampu melakukan transformasi moral dan etika, untuk benar-benar memperjuangkan aspirasi rakyat yang telah memberikan legitimasi yang kuat berupa hak pilih yang diberikan kepada para anggota dewan tersebut.
Maka, sudah menjadi keharusan jika para anggota dewan tersebut harus memiliki rasa tanggung jawab, amanah dan jujur. Tiga sifat fundamental itu yang harus dimiliki oleh setiap politisi, tanpa sifat tersebut tidak mungkin negeri ini menghasilkan para politisi yang memiliki integritas.
Secara institusional, DPR harus diperkuat dengan beberapa langkah solutif. pertama, adanya upaya saling mengawasi antar komisi, serta pengawasan dari semua masyarakat terkait fungsi anggaran yang dimiliki oleh DPR, peran masyarakat umum juga amat sangat diperlukan, agar tercipta suatu prinsip chek and balance yang akan menghadirkan suatu kelembagaan yang transparan dan akuntabel.
Kedua, hedaknya setiap partai politik yang menjadi kendaraan politik bagi para politisi harus mampu menyeleksi para calon legislatif (caleg) yang akan bertarung dalam pemilu, seleksi yang dimaksud adalah untuk menguji sejauh mana kredibilitas serta integritas para politisi, hal tersebut bisa dilihat dari track record serta lingkungan sosial disekitarnya.
Karena sejatinya apa yang terjadi saat ini adalah representasi buruk dari sistem kepartaian di Indonesia dan sudah selayaknya menjadi tanggung jawab partai politik yang menaunginya, bukan hanya mementingkan materi semata tanpa memperhatikan kualitas baik secara intelektual maupun moralitas para politisi tersebut.
Ketiga, rakyat sebagai pemegang otoritas dalam menempatkan wakilnya di lembaga legislatif menjadi sosok sentral dan penentu. Karena sesuai demokrasi di Indonesia setiap orang berhak memilih anggota legislatif maupun eksekutif (presidan dan wakilnnya) dengan ketentuan satu orang satu suara (one man one vote).
Maka, memilih para anggota legislatif harus dilakukan secara selektif agar mampu menghasilkan para legislator yang menjunjung tinggi etos kerja serta moral dan etika. Jangan sampai masyarakat terlena dengan para politisi instan yang hanya mengincar jabatan dan kekuasaan secara pragmatis semata.
Tentu langkah-langkah solutif tersebut hanya bisa tercapai jika setiap individu yang terlibat dalam percaturan politik domestik memilik kemauan dan komitmen secara kolektif untuk berbenah. Jika masih ada egoisme serta apatisme maka jangan harap bangsa ini bebas dari praktik korupsi kolusi dan nepotisme (KKN).
Oleh: Moh. Mansyur, Mahasiswa Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Serta
aktif di Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (PERMAHI).